Dua kelompok yang mewakili agama Kristen dan Islam coba dibenturkan di momen kedatangan Habib Bahar Bin Ali Bin Smith dan Habib Hanif Bin Abdurahman Al Athos di Manado ditolak gabungan ormas (organisasi masyarakat) yang mengatasnamakan adat Minahasa di Bandara Sam Ratulangi.
Untung saja aparat kepolisian cepat meredam dan melakukan ekstra pengamanan yang ketat di lapangan. Terkait peristiwa ini Gerakan Cinta Damai Sulut menyelenggaran focus group discussion (FGD) yang menghadirkan pembicara dari perwakilan intelektual Islam, Kristen dan Katolik.
Diskusi yang mengangkat tema 'Menjaga dan Merawat Sulut Sebagai Laboratorium Nasional Kerukunan Umat Beragama' itu dipusatkan disalah satu Hotel di bilangan jalan Jenderal Sudirman, Sabtu (20/10).
Pegiat Sosial Keberagaman Taufiq Pasiak mengatakan, setelah konflik tahun 2000 lalu pendekatan masih pada koqnitif bicara tentang kerukunan, berbeda dengan sekarang lebih pada pendekatan aksi, sementara dialog-dialog antar iman sedikit menurun. Menurutnya faktor berikut adalah soal agraria.
Contoh kepemilikan tanah di Kota Manado sudah dimiliki orang luar, ini adalah faktor kunci konflik di Sulut.
"Kejadian kemarin, saya ke bandara saya cari aktor tapi pemain baru, bukan pemain lama. Setelah dapat pemainnya lalu runut ke belakang berafiliasi ke mana? Saya memutar video yang diterima mengatakan bahwa Laskar Manguni akan menyerang Masjid di Karame.
Beberapa jam setelah itu muncul video dari Manado mengatakan bahwa Manado aman.
Putar lagi video dari Aceh yang mengancaman orang Kristen Manado. jadi ini yang saya maksud dengan triger. Jadi pemicunya dari luar dan ini politis. Karena daya tahan kita di SULUT kuat,"kata salah satu pengurus MUI itu.
Sementara itu, Akedemisi UKIT Tomohon Denny Pinontoan menuturkan bahwa dirinya menawarkan diri sebagai pemantik tentang ormas-ormas.
Kata dia, mulai dengan judul terutama kata "laboratorium", jadi judul sudah bagus menjaga dan merawat Sulut.
Kerukunan sudah menjadi agama sipil. Kalau ada ancaman dari luar dan dari dalam selalu memunculkan kata kerukunan ini jadi agama sipil.
"Soal ormas-ormas yang turun kemarin di Bandara, tahun 1999 - 2001 dibuat Kongres Minahasa Raya, sama-sama merespon masalah nasional. Yang jadi fokus perhatian orang-orang Minahasa adalah upaya-upaya dari kelompok-kelompok tertentu pada Piagam Jakarta.
Mengingatkan pada 1945. Yang soal pada waktu itu ada A.A. Maramis turut merumuskan Piagam Jakarta. Pada Kongres Minahasa Raya hadir Brigade Manguni yang sudah menasional. Tapi ini tidak hadir di Kongres. Ia lahir untuk menjaga tanah Minahasa agar tidak kena dampak dari konflik,"ungkap Intelektual GMIM itu.
Diakhir Jurnalis Senior Yoseph Ikanubun mengatakan, sejak mahasiswa ia aktif di PMKRI. Materi-materi yang disampaikan jauh dari unsur-unsur radikalisme. Selain itu dirinya juga tergabung di dalam Gerakan Cinta Damai Sulut (GCDS) juga bersama dengan Ruth di Sinode, mereka mendirikan Sekolah Pluralisme.
Setelah itu saat berada di dunia jurnalis, pihaknya berada di semua agama. Ini untuk menjaga independensi dan kode etik jurnalis.
"Ini kasus kedua, pertama terkait dengan kedatangan Fahri Hamza.
Kasus baru-baru ini saya sudah di bandara sejak jam 1 siang. Semakin sore kian memanas.
Saya lihat dalam ruang negosiasi tokoh-tokoh ini, ada pemerintah dan polisi bertemu. Tapi narasi-narasi yang ke luar adalah kebencian berlangsung sampe jam 10 malam. Jadi ada situasi gamang. Terkesan ada proses pembiaran.
Sekitar jam 7-8 malam polisi turun dan ada info bahwa FPI dari Bitung akan turun. Ini beda ketika Fahri Hamza datang Gubernur turun. Kasus baru-baru ini tidak," terangnya dengan nada sinis.(tr13)